Terlalu Banyak Menghilangkan Rasa, Rutinitas Menghilangkan Makna :
Review buku 7 Islamic Daily Habits oleh Balitbang Kemenag RI
Jakarta, (14/11) -
Sebagai seorang muslim, minimal tujuh belas kali dalam sehari lidah kita
melafazkan Al-Fatihah. Dua di waktu Subuh, masing-masing empat kali di Dzuhur
dan Ashar, tiga di Maghrib dan terakhir, empat kali di Isya’. Al-Fatihah
juga dinamakan sholat, karena sholat dimulai dengan surat ini dan tidak sah
sholat seseorang jika tidak membaca surat ini.
Buku “The 7 Islamic Daily Habits, Hidup Islami dan Modern Berbasis Al-Fatihah” berusaha menjadikan
tujuh ayat dalam surat Al-Fatihah sebagai jalan menuju sukses dunia dan
akhirat.
Banyaknya review yang bagus mengenai buku ini baik dari akademisi
maupun praktisi membuat Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menggelar
Bedah Buku “Harjani Hefni: The 7 Islamic Daily Habits, Hidup Islami dan Modern
Berbasis Al-Fatihah” hari ini (14/11) dengan dihadiri berbagai kalangan baik
dari para pejabat, peneliti, widyaiswara, dosen , penyuluh dan LSM.
Forum ini menghadirkan
sang penulis Harjani Hefni, Lc, MA., dan dua pembahas yaitu Peneliti Puslitbang
Kehidupan Keagamaan dan Widyaiswara Utama Kemenakertrans. Peneliti
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Dr. H. Abdul Aziz, MA., mengatakan bahwa uraian
dalam buku ini tidak mengandung hal baru terutama bagi mereka yang familiar
dengan kehidupan santri. Hanya kemasannya yang dibuat baru sehingga menarik
bagi mereka yang mulai mengakrabi praktik keagamaan fungsional sehari-hari.
Sedangkan Widyaiswara Utama Pusdiklat Kemenakertrans Ir. Hj.Sovia Emmy, MMAgr.,
lebih menyoroti keberhasilan penggunaan buku ini sebagai referensi bagi peserta
diklat Kemenakertrans.
Ada yang menarik dalam
sesi tanya jawab, peserta diskusi mengkritik penulis dari perspektif
jender. Penulis dianggap tidak sensitif jender karena contoh-contoh yang
dihadirkan semuanya dari kalangan laki-laki, padahal banyak juga para perempuan
di jaman nabi maupun sesudahnya yang dapat dijadikan suri tauladan.
Penulis menjelaskan
bahwa buku ini sesungguhnya dijadikan sebagai bacaan ringan dengan tidak
menghilangkan sisi keilmuannya. Sehingga kemasannya dibuat semenarik mungkin
agar lebih enak dibaca bahkan oleh kalangan awam pun. Sedangkan atas
kritikan tidak sensitif jender, penulis menjelaskan bahwa tidak ada maksud sama
sekali untuk terkesan tidak sensitif jender. Semua kritik positif akan
diakomodir untuk perbaikan buku di masa mendatang.
Habit pada akhirnya
adalah pembiasaan. Buku ini mengajak para pembacanya untuk “memaknai” habit
mereka selama ini, yaitu membaca surah Al-Fatihah. Pemahaman yang baik
dan pengamalan yang benar dalam kehidupan sehari-hari, pastinya akan
mendatangkan manfaat yang besar bagi pembacanya. (RPS)
Kemajuan
Membutuhkan Preservasi dan Perubahan
Jakarta, 14/11 (Puslitbang 1) - “Dalam
upaya mengembangkan dunia pengetahuan, maka perlu preservasi (memelihara)
karya yang telah diwariskan oleh para pendahulu dan sekaligus melakukan
berbagai upaya kreatif untuk melakukan berbagai perubahan.” Hal tersebut
disampaikan oleh Prof. Dr. Phil. M. Nur Kholis Setiawan dalam sambutannya di
acara pembukaan kegiatan Bedah Buku “The 7 Islamic Daily Habits” karya
Harjani Hefni, Lc, MA yang diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Kegiatan Bedah Buku
tersebut diselenggarakan di Hotel Sofyan Menteng Jakarta Pusat tanggal 14
Nopember 2012 lalu.
Dalam sambutannya tersebut, Nur Kholis
Setiawan mengutip pernyataan Imam Jalaluddin dalam Muqaddimah Tafsir
Jalalain, bahwa ada 2 hal yang penting dalam tujuan penulisan sebuah karya
pengetahuan: Pertama, adanya kontinuitas yaitu preservasi ilmu pengetahuan.
Kedua, adanya perubahan, yaitu pengkayaan preservasi melalui pengembangan
pengetahuan. Untuk itu kegiatan Bedah Buku menjadi penting bagi Puslitbang
Kehidupan Keagamaan sebagai bentuk apresiasi terhadap upaya-upaya
pengembangan ilmu pengetaahuan khususnya di bidang keagamaan.
Kegiatan Bedah Buku “The 7 Islamic
Daily Habits” tersebut dihadiri oleh 60 orang peserta, terdiri dari
perwakilan ormas keagamaan, penyuluh agama, para akademisi, widyaiswara serta
peneliti di lingkungan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama, acara ini
juga dihadiri oleh pembedah buku yaitu: Harjani Hefni, Lc. MA
(pengarang buku), dan 2 orang narasumber yang membahas dan mengkritisi buku
yaitu Dr. H. Abdul Aziz, MA (Peneliti Utama), dan Ir. Sofie Emmy, MMA
(Widyaiswara Utama).
Sementara itu Prof. Dr. Machasin, MA
selaku Plt. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama dalam
sambutannya menyebutkan pentingnya mengapresiasi buku-buku karya anak bangsa.
Dalam sambutannya beliau juga menyinggung tentang maraknya fenomena
radikalisme agama, bahwa para pelaku radikalisme itu memiliki tiga latar
belakang utama yaitu: Pertama, pengetahuan agama yang praktis tetapi tidak
disertai pertimbangan yang matang. Kedua, Indoktrinasi agama yang tidak
disertai kematangan bertindak, mana yang perlu ditinggalkan dan mana yang
perlu dilakukan. Ketiga, tidak sambungnya pengamalan agama dan perilaku yang
terpuji. Indikatornya ada orang yang rajin shalat tapi korupsi, atau ada yang
rajin ibadah tapi tidak baik dengan lingkungan, bahkan berperilaku merusak,
perilaku agama yang ditampilkan sering berbeda dengan pesan moral agama.
Untuk itu menurut beliau, syiar agama itu penting, namun pendalaman agama
juga harus ditingkatkan.
Machasin menyatakan bahwa saat ini
bangsa Indonesia makin hari makin jauh dari Islam ke-Indonesiaan, Hal ini
disebabkan karena sedikitnya buku-buku yang ditulis oleh tokoh Islam
Indonesia, jika adapun buku itu tidak banyak dipelajari, misalnya fiqh karya
Hasbi As-Siddiqy dan tafsir karya Soleh Darat, keduanya tidak dipelajari.
Sehingga kita lebih banyak membaca buku-buku yang bukan berasal dari
Indonesia. Akibatnya Islam yang dipelajari tidak kontektual dan jauh dari
nilai-nilai ke-Indonesiaan (kebangsaan). Untuk itu buku-buku karya bangsa
Indonesia perlu diapresiasi.
Beliau juga menyampaikan bahwa untuk
itu saat ini bangsa Indonesia membutuhkan buku yang selain mengajak pada
kesalehan individu, namun juga kesalehan sosial. Saat ini pendidikan agama
seakan lebih menekankan aspek kognitif, seolah sama dengan pendidikan yang
bisa diukur dengan ujian tertulis. Padahal agama adalah pengamalan.,
sepertinya selama ini kita banyak memiliki resep tapi tidak manjur dan tidak
dilaksanakan orang, karena ternyata resep yang dibuat tidak berhasil merubah
perilaku. Untuk itu menurut beliau dibutuhkan karya-karya yang mampu
mendekatkan antara moral agama dengan perilaku agama. (AJW)
|
Posting Komentar